Saya pertama kali mendengar istilah “butiran debu” dari sebuah lagu yang berjudul sama. Belakangan, saya makin sering mendengarnya dari obrolan-obrolan tentang masa depan dengan teman-teman SMA. Biasanya, saat membicarakan teman yang baru saja mencetak sebuah prestasi atau mendapatkan (ehem) jodoh, salah satu dari mereka akan bilang, “yah, dia sih kece, kalo gue mah apa atuh, cuma butiran debu” atau semacamnya. Lama-lama saya jadi ikut-ikutan menggunakan istilah ini. Sampai suatu hari keluarlah ide di kepala untuk menyebut rasa minder dan kurang percaya diri untuk mewujudkan cita-cita sebagai “sindrom butiran debu”.
Sindrom butiran debu ini nampaknya cukup berbahaya. Buktinya, teman-teman SMA saya yang jelas-jelas kece, pintar, dan insya Allah soleh-solehah *heh, jangan gr ya lo pada* mendadak jadi galau dan resah memikirkan nasib mereka di masa depan. Ada yang mau apply S2 tapi merasa IP atau kemampuan Bahasa Inggrisnya kurang, ada yang ingin lulus cepat tapi belum pd mencari pekerjaan di jaman yang (katanya) serba sulit ini, ada juga yang naksir orang tapi merasa orang yang ditaksir bakal segera melamar orang lain (#eh).
Kemarin, saat mendengarkan presentasi oleh Bapak Abdul Kahar (Direktur Dana Kegiatan Pendidikan LPDP) dalam LPDP Edu Fair (yang mau tau LPDP itu apa, ke sini ya), saya kembali teringat akan sindrom yang juga saya alami ini. Beliau kira-kira ngomong begini, “anak-anak mahasiswa jaman sekarang, semester-semester akhir menjelang wisuda bukannya bersuka cita malah jadi galau”. Waduh, si Bapak kok bisa menebak isi hati saya, ya? Tapi berhubung acara kemarin dihadiri ribuan orang, yang hampir semuanya manggut-manggut mendengar ucapan si Bapak, berati sindrom butiran debu ini sebenarnya memang lagi mewabah, dong?
Sebenarnya ini bukan pertama kali saya mengalami sindrom ini. Bedanya, waktu SMA, saat sindrom semacam ini menyerang, saya tinggal masuk ke kamar teman, curhat colongan, lalu balas mendengarkan kegalauan teman saya dan saling memberi masukan dan suntikan semangat. Cara lainnya, tinggal ke ruang BK lalu minta bantuan Bu Rini, guru BK paling kece se-dunia, untuk mencarikan solusi yang tepat untuk masalah saya. Bisa jadi sindrom yang menyerang saat ini makin parah karena saya kehilangan sosok teman-teman se-asrama dan sosok Bu Rini. Bisa juga karena sekarang pilihan yang ada semakin banyak, sementara di sisi lain saya juga makin menyadari batasan-batasan yang ada pada diri saya.
Jujur, saya sendiri masih belum tahu apa obat yang bisa menyembuhkan sindrom ini. Tapi sepertinya sindrom ini memang tidak baik untuk dipelihara. Untuk sementara, saya akan mencoba nekat untuk mencoba berbagai pilihan, tentunya setelah meminta petunjuk kepada Allah swt. Kewajiban manusia “cuma” berusaha dan berdoa, kan? Mangat yuk, Cyiin!
Semangat chakun!!
yosh!!
somehow encouraging cha curcolnya lol
aku juga sering ngerasa kaya butiran debu~
tapi apapun yg terjadi ahead, ganbarou~
uwaw ada kak fatma! yosh ganbarimashou! sering2 mampir ya kak #iklan